Pada masa ketika sufi Gendheng itu diundang dinner party oleh sultan, didepan gerbang istana sultan ia dihadang oleh satpam penjaga. Pasalnya pakaian yang dikenakan nasrudin kurang sopan dan tidak memenuhi syarat.
Nasrudin pun kembali setelah meminjam pakaian resmi dan bagus pada tetangganya, satpam penjaga pun menerimanya dengan senyuman untuk mempersilahkjan masuk.
Setelah nasrudin duduk dan dipersilahkan untuk menikmati jamuan sultan, nasrudin malah mencopot semua pakaian yang dikenakannya. Sehingga yang tersisa tinggal pakaian dalam saja. Lantas dia meletakan pakaian yang dicopot itu diatas piring makanan dan gelas minuman yang ada dimejanya.
Satpam pun marah “apa-apaan ini?” ia membentak “apakah saudara ingin menghina sultan?”.
“Menghina bagaimana?” jawab Nasrudin “saya hanya melakukan apa yang seharusnya saya lakukan. Yang diundang kepesta ini adalah pakaian yang saya kenakan tadi, maka dia pulalah yang saya persilahkan makan dan minum menikmati jamuan ini, saya pulang!”
…
Membaca cerita Nasrudin tersebut saya selalu teringat pada hal yang terkadang membuat pribadi saya berpikir, betapa banyak manusia sekarang masih belum mampu berpikir maju dan terbuka. pola pikirnya tertambat pada zaman-zaman ribuan tahun lalu, kendati media informasi telah begitu mendarah daging pada diri mereka yang selalu menilai, mengukur segala sesuatu dari sebuah penampilan tanpa mempertimbangkan daya kreatifitas, pola pikir dan kepolosan seorang Nasrudin.
Kisah Nasrudin tersebut telah berabad-abad lamanya, namun apa yang dikritikan Nasrudin saat itu masih banyak terjadi dikalangan manusia masa kini. Apakah pengetahuan, kecerdasan dan kreatifitas seseorang hanya mand’ek disitu atau bahkan mudur sama sekali. Nasrudin bukanlah hendak menginjak-injak Institusi formalitas kesultanan, namun ada hal yang perlu dicermati dari masalah tersebut tentang bagaimana cara memandang sesuatu yang remeh sedang mengabaikan sesuatu yang lebih besar dan substansial dalam hidup. “Wa’asa an takrahu syaian wahuwa khairullakum, wa’asa an tuhibbu syaian wahuwa syarrul lakum…(2;216)” kebenaran dimata manusia selalu bersifat relative, hanya Allah yang maha memiliki otoritas kebenaran itu. Manusia hanya diwajibkan mencari tanpa harus merasa memiliki kebenaran itu.
Parahnya Manusia bahkan Institusi-institusi Pendidikan (dalam hal ini) khususnya saat ini lebih banyak melakukan hal yang mubazir karena tidak pararel dengan peningkatan jumlah kelakuan baik manusia. Pembelajaran dan pengajaran seperti tidak relevan terhadap persoalan konkret manusia. Tidak mengandung kepekaan, komitmen, dan kepedulian terhadap suara hati para pembelajarnya. Tidak dapat menyentuh kedalam dasar kenyataan hidup para pembelajarnya. Yang terjadi hanya begitu-begitu saja, dan semua hanya nganut-nganut saja sampai berabad-abad.
Yag diurusi manusia adalah “pakaian Nasrudin”, bukan manusianya. Bukan pemikiran, gagasan, perilaku, kreativitas dan fungsi sosial nasrudin. Yang diributkan hanya yang remeh-remeh. Satpam-satpam zaman itu sibuk mengurusi kostum Nasrudin, marah kepada cawet, kaos oblong, dan sandal jepitnya. Seolah-olah itu merupakan kasus peradaban yang besar. Sementara satpam-satpam itu diam saja terhadap segala macam bentuk penyelewengan, penindasan, ketidak adilan, korupsi dan isapan… sama sekali tidak memiliki kecerdasan untuk dapat mengambil hikmah dari muatan Inzhar atau kritik Nasrudin.
[wallahu a’lam bi shawwab..]